April 2015 genap 35 tahun F-5E/F Tiger bertugas di TNI Angkatan Udara. Dalam waktu dekat, pemerin-tah ingin mengganti pesawat tempur yang dibuat di pabrik Northrop Corporation Amerika Serikat itu. Tahun ini, menurut rencana, pemerintah akan memutuskan penggantinya sehingga tahun 2018 pesawat tempur multifungsi pengganti itu sudah datang dan bisa beroperasi.

Sejak tahun lalu, TNI, khususnya TNI AU, memberi sinyal lebih menginginkan Sukhoi Su-35 sebagai pengganti F5. Misalnya disampaikan Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna di sela-sela Rapat Pimpinan TNI AU pada Februari 2015. Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto mengatakan, TNI AU menginginkan generasi pesawat tempur ke-4.5. "Kami inginkan yang punya faktor deterrence, yaitu efek gentar tinggi di kawasan," katanya.

TNI AU sudah mengajukan beberapa nama jenis pesawat kepada Kementerian Pertahanan. Selanjutnya, Kementerian Pertahanan yang akan melakukan kajian, di antaranya dari segi harga untuk satu skuadron yaitu 16 pesawat, efek gentar, spektrum ancaman, strategi pertahanan, dan faktor politik.

Kepala Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Djundan Eko Bintoro mengatakan, Kementerian Pertahanan belum memutuskan dan masih akan terus menimbang-nimbang sejumlah faktor. Namun, ada beberapa jenis pesawat calon pengganti F5 yang mencuat, yaitu F-16 blok 60 dari Lockheed Martin, Gripen E/F dari SAAB, Sukhoi Su-35, dan Typhoon dari Eurofighter.

Setiap pesawat tentu memiliki spesifikasi teknis yang harus dibanding-bandingkan kekuatan dan kelemahannya serta dipertimbangkan kesesuaiannya dengan kebutuhan Indonesia. Sukhoi Su-35, misalnya, biaya pengoperasiannya sangat tinggi, yaitu Rp 400 juta per jam. Aviationweek.com menyebutkan, salah satu versi Gripen JAS 39, yang merupakan pesawat tempur ringan mesin tunggal, biaya operasinya 7.500 dollar AS per jam atau Rp 97,5 juta per jam.

Namun, soal harga, Sukhoi bisa dikatakan paling murah. Menurut media pemerintah Rusia Behind The Headline Indonesia, Sukhoi Su-35 dijual dengan harga 38 juta dollar AS, yang berarti hampir sepertiga dari Typhoon Eurofighter yang sama-sama bermesin ganda. Namun, Duta Besar Spanyol untuk Indonesia Francisco Jose Viqueira Niel menyatakan masa hidup mesin jet Typhoon mencapai 30 tahun yang berarti juga sekian kali lipat dari mesin Sukhoi.

Transfer teknologi

Salah satu faktor yang juga harus dipertimbangkan adalah terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Kepala Bagian Perencanaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan Said Didu mengatakan, setelah pihak pengguna, dalam hal ini TNI AU, menyebutkan spesifikasinya sesuai kebutuhan, baru diselisik kembali menggunakan UU Industri Pertahanan. Salah satu amanat yang harus dipenuhi adalah soal transfer teknologi, penggunaan konten lokal, imbal dagang, dan kompensasi yang nilainya 35 persen dari harga persenjataan yang dibeli.

Said mengatakan, idealnya konten lokal, transfer teknologi, imbal dagang, dan kompensasi terkait produk yang mau dibeli langsung. Untuk pembelian pengganti F5, misalnya, bisa diadakan transfer teknologi untuk program pembuatan pesawat tempur KFX bersama Korea Selatan yang beberapa minggu lalu dinyatakan akan diteruskan. Hal ini menjadi amanat undang-undang yang harus diperjuangkan mengingat, walau secara formal pesawat-pesawat yang akan dibeli itu menyatakan siap transfer teknologi, faktanya tentu tidak semudah itu.

Selama ini, walau belum maksimal, kerja sama teknologi sudah dilakukan dengan Lockheed Martin pembuat F16 dan pabrik pesawat Spanyol, CASA, yang sekarang tergabung dalam Airbus Defence and Space. Namun, Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin juga menyatakan, Rusia bersedia melakukan transfer teknologi. SAAB dalam pameran Indo Defence 2014 lalu menyatakan bersedia melakukan produksi bersama dengan PT Dirgantara Indonesia.

Merujuk aspek teknis, hal ini tentu sangat kompleks, apalagi disesuaikan dengan ketersediaan radar Indonesia dan luasnya wilayah Indonesia. Hal itu tentu menjadi tugas TNI AU untuk mengkaji sesuai kebutuhan operasional. Sebagai ilustrasi, lepas dari teknologinya, jangkauan radar saja sangat bervariasi. Gripen JAS 39 dengan PS 05/A bisa mendeteksi pesawat lain pada jarak 120 kilometer, sementara F-16 dengan radar APG-80 dengan antena AESA bisa menjangkau jarak 140 km. E-Captor yang merupakan radar terbaru Typhoon, menurut aircraft.wikia.com, bisa mendeteksi target seluas 1 meter persegi pada jarak 185 km dan pesawat penumpang normal pada jarak 370 km. Sementara Sukhoi Su-35 dengan Irbis-E radar jangkauannya mencapai 400 km.

Negara tetangga

Yang juga harus dipertimbangkan tentu pesawat jet tempur yang dimiliki negara-negara tetangga dan senjata yang melengkapi. Dari daftar yang ada terlihat kekuatan pesawat jet tempur kita masih tertinggal jauh dari segi kuantitas dan kualitas teknologi. Dalam World Defence Almanac 2014, terlihat negara-negara tetangga Indonesia telah dilengkapi dengan pesawat-pesawat generasi ke-5.

Contoh Australia, jajaran pesawat jet tempurnya terdiri dari 33 pesawat Hawk 127, 55 pesawat F-18A, 16 pesawat F-18B, dan 24 pesawat F-18F Super Hornet. Tahun 2018, pesawat tempur F-35 yang dipesan Australia diharapkan sudah datang. Malaysia saat ini memiliki 10 pesawat MiG 29N/MiG 29NUB, 6 pesawat F-5E, 2 pesawat F-5F, 2 pesawat RF-5E, 8 pesawat F-18D, 14 pesawat Hawk 208, dan 18 pesawat Sukhoi 30MK.

Singapura, berdasarkan informasi dari berbagai sumber, diperkirakan memiliki 37 F-5 Tiger II, 24 pesawat F-15SG, dan 62 pesawat F-16 C/D blok 52 yang 14 di antaranya sedang dipakai latihan di AS. Tahun 2014, Singapura menambah F-15 SG menjadi 40 pesawat dan Februari 2015, Singapura menyatakan kemungkinan besar akan membeli pesawat F-35. Sementara Indonesia saat ini memiliki pesawat jet tempur yang terdiri dari 12 pesawat F-16 A/B blok 15, 5 pesawat F-16 C/D blok 25 yang di-upgrade menjadi 52, 16 pesawat Sukhoi Su-27/30 MKI, dan 9 pesawat F-5 E/F Tiger.

Terkait dengan kedaulatan udara, tentu bangsa Indonesia mengharapkan memiliki angkatan udara yang kuat dengan jet-jet tempur yang mumpuni. Namun, dalam perjalanan bangsa ini, pembelian alat utama sistem persenjataan dipersepsikan sarat dengan korupsi dan kepentingan elite tertentu. Semoga dugaan ini salah.[kenyot10/Kompas]
Ilustrasi
Mungkin sering kali kita mengartikan sniper adalah penembak jitu, begitupun sebaliknya, padahal keduanya sebenarnya berbeda, baik dalam tugas maupun secara perlengkapan.

Beberapa doktrin membedakan antara penembak runduk (sniper) dengan penembak jitu (marksman, sharpshooter, atau designated marksman). Sniper terlatih sebagai ahli stealth dan kamuflase, sedangkan penembak jitu tidak. Sniper merupakan bagian terpisah dari regu infanteri, yang juga berfungsi sebagai pengintai dan memberikan informasi lapangan yang sangat berharga, sniper juga memiliki efek psikologis terhadap musuh. Sedangkan penembak jitu tidak memakai kamuflase, dan perannya adalah untuk memperpanjang jarak jangkauan pada tingkat regu.

Penembak jitu umumnya memiliki jangkauan sampai 800 meter, sedangkan sniper bisa sampai 1500 meter atau lebih. Ini dikarenakan sniper pada umumnya menggunakan senapan runduk bolt-action khusus, sedangkan penembak jitu menggunakan senapan semi-otomatis, yang biasanya berupa senapan tempur atau senapan serbu yang dimodifikasi dan ditambah teleskop.

Sniper telah mendapatkan pelatihan khusus untuk menguasai teknik bersembunyi, pemakaian kamuflase, keahlian pengintaian dan pengamatan, serta kemampuan infiltrasi garis depan. Ini membuat sniper memiliki peran strategis yang tidak dimiliki penembak jitu. Penembak jitu dipasang pada tingkat regu, sedangkan sniper pada tingkat batalyon dan tingkat kompi.

Sniper, atau penembak runduk, adalah seorang prajurit infanteri yang secara khusus terlatih untuk mempunyai kemampuan membunuh musuh secara tersembunyi dari jarak jauh dengan menggunakan senapan.

Istilah ini muncul pada tahun 1770-an, pada prajurit-prajurit Kolonial Inggris di India, dari kata snipe, yaitu sejenis burung yang sangat sulit untuk didekati dan ditembak. Mereka-mereka yang mahir memburu burung ini diberi julukan "sniper".

Doktrin militer tentang sniper dalam posisinya pada unit militer, lokasi menembak, dan taktik berbeda pada setiap negara. Namun secara umum, tujuan sniper dalam peperangan adalah mengurangi kemampuan tempur musuh dengan cara membunuh sasaran yang bernilai tinggi, seperti perwira, komandan lapangan, pembawa senapan mesin ataupun pembawa alat telekomunikasi.

Bidikan teleskopik harus mendapatkan perhatian khusus, karena lensa dari alat bidik harus terbuka, tapi dalam keadaan terbuka akan dapat memantulkan cahaya matahari, dan ini bisa membeberkan posisi sniper. Solusi yang biasa digunakan adalah mencari tempat bersembunyi yang tidak terkena cahaya matahari langsung, atau dengan menutupi lensa dengan sesuatu yang tidak memantulkan cahaya, seperti sebuah kain tipis.

Sniper menggunakan kamuflase dan membatasi gerakan mereka, agar tidak bisa dideteksi. Sniper modern juga harus memperhatikan kamuflase mereka jika dilihat dengan cahaya infra-merah, karena militer modern sudah menggunakan penglihatan suhu (thermal vision), menggantikan night vision, yang hanya meningkatkan intensitas cahaya. Bahan pakaian dan peralatan bisa muncul bila dilihat dengan alat thermal vision. Maka sniper juga bisa memakai bahan lain seperti plastik, atau bahan khusus seperti selimut thermal, atau bahan lain yang tidak terdeteksi oleh thermal vision.

Di kepolisian biasanya menurunkan sniper dalam penanganan skenario penyanderaan. Mereka dilatih untuk menembak sebagai pilihan terakhir, hanya jika nyawa sandera terancam langsung. Sniper polisi biasanya beroperasi dalam jarak yang lebih dekat dari pada sniper militer. Biasanya di bawah 100 meter dan bahkan kadang kadang kurang dari 50 meter. Karena inilah sniper polisi lebih tepat disebut sebagai penembak jitu. Sniper polisi lebih terlatih menembak untuk melumpuhkan daripada membunuh, dikarenakan peran polisi sebagai pengayom masyarakat.

Senapan Runduk SPR 2 PT.Pindad
Peran seorang sniper (penembak runduk) sudah dipakai dalam perang sejak abad ke-18, tapi senapan runduk termasuk penemuan yang lumayan baru. Perkembangan teknologi, khususnya pada bidikan teleskop dan perakitan modern, membuat satuan-satuan militer bisa mempersenjatai prajurit-prajurit yang dilatih khusus dengan senjata yang bisa menembak dengan akurat pada jarak yang jauh lebih besar daripada senjata infanteri biasa.

Misi sniper adalah pengintaian dan pengamatan, anti-sniper, membunuh komandan musuh, memilih target sendiri secara oportunis, dan bahkan tugas anti material (penghancuran peralatan militer), untuk melakukan tugas ini, tim sniper memerlukan senapan berkaliber besar seperti BMG 0.50.

Selain senjatanya yang khusus, pada masa sekarang ini telescope untuk bidikan juga dipercanggih dengan infra merah dan night vision bahkan ada yang menggunakan thermal vision (pendeteksi panas tubuh), sehingga mereka bisa beroperasi siang malam dan dalam keadaan tanpa cahaya sama sekali.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, khusunya untuk binocular yang digunakan oleh spotter, dibuat versi digital, di mana seorang spotter dapat memberitahuan jarak sasaran, kecepatan angin, arah angin dan suhu, di mana data-data tersebut mempengaruhi jalur peluru, sehingga penembak dapat menyesuaikan dengan memutar stelan pada bagian atas teleskopnya untuk akurasi tembakannya.

Kriteria senapan yang digunakan oleh sniper (penembak runduk) :

  • Telescopic
  • Kaliber besar
  • Peredam kilatan cahaya/api (pada saat menembak, tidak ada percikan api yang keluar dari laras senapan)
  • Sistem senjata Bolt Action
  • Kapasitas magazine paling banyak 10 peluru
  • Jarak tembak efektif 1000 s.d 2000 meter

Penembak jitu adalah istilah yang dipakai pada bidang militer. Seorang penembak jitu terlatih untuk menembak secara tepat dan akurat dengan menggunakan senapan tipe tertentu. Beberapa doktrin militer memakai penembak jitu yang tergabung dalam infanteri tingkat regu.

Salah satu awal munculnya penembak jitu adalah dalam Revolusi Amerika. Kompi senapan Amerika, yang dipersenjatai Pennsylvania/Kentucky Long Rifle, menjadi prajurit dalam Tentara Kontinental. Karena keakuratan prajurit-prajurit ini, banyak perwira Inggris yang harus mencopot lambang perwira mereka, agar tidak dijadikan target.

Pemakaian awal penembak jitu lainnya adalah pada Angkatan Darat Inggris di era Napoleon. Ketika itu, tentara lain lebih banyak menggunakan musket yang tidak akurat, tapi Green Jackets Inggris menggunakan senapan Baker yang terkenal. Dengan alur khusus di dalam larasnya, senapan ini jauh lebih akurat, walau pengisiannya lebih lama. Para pemakai senapan ini termasuk tentara elit Inggris, dan menjadi garis depan yang diandalkan pada banyak pertempuran.

Penembak jitu juga dipakai pada Perang Saudara Amerika. Penembak jitu ini digunakan oleh kedua pihak yang berperang. Prajurit elit ini terlatih dan dipersenjatai dengan baik, dan juga ditempatkan di garis depan sebagai yang pertama melawan musuh.

Karena penembak jitu modern tingkat regu (designated marksman) mengisi jeda antara infanteri biasa dengan penembak runduk, senapan penembak jitu juga dirancang sebagai penengah. Senapan penembak jitu harus memiliki jangkauan yang lebih jauh dari senapan serbu (sekitar 500 meter), tapi tidak perlu sampai jangkauan tingkat senapan runduk (lebih dari 1000 meter).

Kriteria senapan yang digunakan oleh penembak jitu (marksman) :

  • Bidikan Telescopic (karakter dari senapan runduk)
  • Kaliber lebih besar (karakter dari senapan runduk)
  • Kemampuan menembak semi otomatis (karakter dari senapan serbu)
  • Memiliki kapasitas magazine yang cukup besar (10 s.d 30 peluru) (karakter dari senapan serbu)
Sumber : Wikipedia dan beberapa sumber lainnya
Pesawat Nakajima Ki-43-II Hayabusha
Pesawat keempat dalam serangan udara pertama tanggal 29 juli 1947 adalah Pesawat Nakajima Ki-43-II Hayabusha. Nakajima adalah nama pabrik yang membuat pesawat ini (Nakajima Hikoki KK), Hayabusha dalam bahasa Jepang mengandung arti “Elang”. Sementara orang Amerika Serikat menyebut pesawat tersebut dengan sebutan “Oscar”. Kalau di Indonesia Pesawat tersebut sering disebut dengan Hayabusha.

Pesawat Nakajima Ki-43-II Hayabusha, saat tinggal landas di landasan pacu Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta

Pesawat tersebut terbang pertama kali pada awal Januari 1939, hasilnya sangat mengecewakan, hal tersebut karena test flight oleh Pilot Jepang merasa bahwa pesawat Ki-43 kurang lincah dalam manuver dan tidak lebih cepat dibanding pesawat sejenis sebelumnya (Ki-27). Kemudian oleh perusahaan dalam mengatasi masalah tersebut, Nakajima melewati serangkaian modifikasi prototipe 1939 dan 1940. Perubahan-perubahan meliputi penurunan berat utama, sehingga pesawat menjadi lebih ramping dengan permukaan ekor bergerak lebih jauh memanjang dan menggunakan kanopi baru.

Secara spesifik data Pesawat Nakajima Ki-43-II Hayabusha sebagai berikut :

✈ Buatan Tahun : 1940
✈ Jenis : Pesawat Pembom
✈ Pabrik : Nakajima Hikoki KK
✈ Motor : 1.150 hp Army tipe 1 (14 cl)
✈ Panjang sayap : 35,7 ft (10,84 m)
✈ Panjang pesawat : 29,3 ft (8,92 m)
✈ Tinggi pesawat : 10,9 ft (3,27 m)
✈ Berat Kosong : 4.211 lb (1.910 kg)
✈ Berat maksimum : 6.449 lb (2.925 kg)
✈ Kecepatan Maksimum : 329 ml/h (530 km/jam)
✈ Kecepatan Jelajah : 273 ml/h (440 km/jam)
✈ Jarak Jelajah : 1.094 ml (1.760 km)
✈ Tinggi terbang : 36.750 ft (11.200 m)
✈ Persenjataan : 2 Senjata mesin 12,7 mm, bom 551 lb (250 kg)
✈ Akomodasi : 1 crew
✈ Kekuatan : 1.140 daya kuda.

Menurut M. Yacub teknisi yang pernah memperbaiki pesawat tersebut, body pesawat berwarna hijau lumut, bagian perut (bawah) berwarna putih abu-abu seperti awan, dimana pertemuan dua warna tersebut samar-samar atau tidak tegas. Propeller berwarna alumunium dengan ujung berwarna hitam. Lambang merah putih terdapat di sayap bagian atas. Untuk identifikasi penerbangan pesawat tersebut diberi kode S-42.

Sebuah Pesawat Ki-43 Hayabusa sedang diperbaiki oleh para teknisi-teknisi Republik Indonesia

Pesawat Nakajima Ki-43-II Hayabusha dipersenjatai dua senapan mesin 7,7 mm yang dipasang dibagian atas kap mesin agar memudahkan pembidikan. Pelurunya bisa mencecar sampai 1300 butir permenit itu melesat lewat celah-celah putaran baling-baling.

Semula Pesawat Hayabusa akan diterbang oleh Kadet Bambang Saptoadji untuk mengawal Kadet Penerbang Mulyono, untuk mengawal Pesawat Guntei ke Semarang yang dipiloti oleh Kadet Penerbang Mulyono, yang diikuti dua pesawat Cureng yang di piloti oleh Kadet Penerbang Sutardjo Sigit dan Suharnoko Harbani, namun sampai tengah malam memasuki hari “H” tanggal 29 Juli 1947, Pesawat Hayabusa belum juga dapat disiapkan. Pesawat tersebut ada masalah pada mesin dan persenjataannya, meskipun para teknisi pesawat semalam suntuk telah bekerja keras untuk menyelesaikan agar pesawat bisa dinyatakan dalam kondisi siap operasional.

Melihat kenyataan tersebut bahwa kesiapan Pesawat Hayabusa belum dapat diselesaikan, maka pimpinan operasional pelaksanaan operasi Komodor Muda Udara (KMU) Halim Perdanakusuma memutuskan bahwa serangan udara atas kota Semarang hanya dilakukan oleh Pesawat Guntei saja tanpa di kawal oleh Pesawat Pemburu Hayabusa. Keputusan tersebut merupakan suatu pilihan yang berat, namun harus segera diambil, karena rencana operasi yang telah diperhitungkan dengan matang harus tetap dilaksanakan walaupun ada tantangan dan hambatan yang dihadapi.

Mendengar keputusan tersebut Kadet Penerbang Bambang Saptoadji sangat kecewa karena tidak bisa ikut berpartisipasi dalam operasi udara yang akan dilaksanakan, ia mendekati ketiga rekannya agar bisa menggantikan untuk melaksanakan operasi tersebut. Akan tetapi dari ketiga rekannya tidak ada satu pun yang bersedia digantikan. Inilah sikap ksatria dan bentuk pengabdian kepada Negara dan Bangsa yang diwariskan oleh para kadet penerbang, dimana peristiwa itu mampu mengangkat keberadaan Angkatan Udara kita yang kemudian menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu.

Sumber : TNI AU
Facebook Follow me on Twitter! Follow me on Google+! Subscribe on Youtube! Subscribe to RSS Feed